Tahu tidak jika ada orang yang merasa bersalah saat orang lain berbuat baik kepadanya? Emang ada? Yup, ada banget! Perasaan bersalah dan terbebani saat dia mendapatkan perlakuan baik atau hadiah dari orang lain. Dia akan menganggap sedang berhutang pada orang yang melakukan hal baik ke dirinya. Atau jangan-jangan kamu salah satunya?
Fenomena ini seringkali tidak diidentifikasi dengan satu nama trauma tunggal, melainkan merupakan perwujudan dari beberapa core issues (masalah inti) yang terbentuk akibat pengalaman masa lalu.
Memahami Darimana Rasa Bersalah Datang
Rasa bersalah itu bisa datang dari banyak hal dan dari berbagai faktor. Salah satunya adalah pola asuh dan kebiasaana yang kamu terima dari kecil. Jadi, begini untuk lebih jelasnya;
Rahasia Silent Walking untuk Antidepresant
1. Rasa Bersalah karena Ketidaklayakan (Unworthiness Guilt)
Ini adalah inti masalah bagi banyak orang. Perasaanmu berasal dari keyakinan mendalam yang terbentuk dari pengalaman negatif berulang di masa lalu, contohnya:
- Pola Asuh yang Kritis atau Abusif: Anak yang terus-menerus dikritik, diabaikan, atau diperlakukan seolah-olah mereka adalah beban, akan menginternalisasi (memasukkan ke dalam diri) pesan bahwa kamu tidak pantas menerima hal baik secara cuma-cuma.
- Penguatan Bersyarat (Conditional Love): Jika cinta atau perhatian yang diterima selalu disertai syarat ("Ibu/Ayah akan bangga jika kamu mendapat nilai bagus"), maka ketika menerima kebaikan tanpa syarat, otak akan mengirim sinyal bahaya, karena kebaikan tersebut terasa "tidak sah" atau harus ada timbal baliknya.
- Manifestasi dalam Menerima Kebaikan: Ketika kamu memiliki keyakinan inti "Kamu tidak layak" menerima kebaikan, itu menciptakan diskonfirmasi terhadap keyakinanmu. Hal ini menimbulkan kecemasan dan rasa bersalah, seolah-olah kamu telah "menipu" orang yang memberi kebaikan, atau khawatir bahwa kebaikan itu akan ditarik kembali jika kamu tidak segera membalasnya.
2. Utang Emosional dan Kekhawatiran Dimanipulasi
Perasaan "berutang dan harus membalas" adalah mekanisme yang sering kamu kembangkan saat memiliki pengalaman buruk terkait pemberian atau penerimaan di masa lalu:
- Pengalaman Dimanipulasi: Jika dalam lingkungan masa lalu (keluarga atau hubungan penting) kebaikan selalu datang dengan "harga" tersembunyi, atau digunakan sebagai alat kontrol ("Kamu melakukan ini untukmu, jadi sekarang kamu harus melakukan ini untuk kamu"), maka kebaikan tanpa pamrih terasa asing dan mengancam. Kamu akan berusaha sekuat tenaga untuk segera membalasnya agar tidak memberi kesempatan kepada pemberi kebaikan untuk menagih "utang" atau mengontrolmu di masa depan. Kamu ingin menghilangkan keterikatan atau jebakan tersebut secepatnya.
- Trauma Pengabaian (Abandonment Trauma): Untukmu yang traumanya berakar dari ketakutan ditinggalkan, menerima kebaikan bisa terasa seperti "memperoleh waktu tambahan" dalam hubungan. Kamu merasa harus segera membalas kebaikan tersebut untuk membuktikan nilaimu dan memastikan orang itu tetap tinggal atau tidak meninggalkanmu.
3. Fawning Response (Respon Menyenangkan)
Ini adalah salah satu dari empat respons trauma (Fight, Flight, Freeze, Fawn). Kamu yang cenderung menggunakan Fawning sebagai mekanisme koping akan:
- Berusaha Merasa Aman: Kamu mencoba mengendalikan lingkunganmu dengan menenangkan dan menyenangkan orang disekitarmu.
- Menerima Kebaikan sebagai Ancaman: Menerima kebaikan menempatkanmu dalam posisi yang "berutang," yang mengancam rasa amanmu. Kamu akan segera mengembalikan kendali dan rasa aman, harus segera "menutup buku" atau membalas kebaikan tersebut.
- Tidak Mampu Menerima (Poor Receptivity): Kamu mudah untuk memberi, tetapi sangat buruk dalam menerima. Menerima kebaikan membuatmu merasa rentan dan lemah, sementara memberi membuatmu merasa kuat dan mengendalikan hubungan.
4. Guilt Complex yang Lebih Luas
Seperti yang disebutkan sebelumnya, Guilt Complex adalah pola rasa bersalah kronis. Dalam konteks ini, rasa bersalahmu tidak hanya terkait dengan kesalahan yang kamu perbuat, tetapi juga rasa bersalah eksisensial atau rasa bersalah karena memiliki atau menerima hal baik ("Mengapa kamu yang menerima ini sementara yang lain menderita?"). Perasaan ini bisa diperparah jika kamu pernah menjadi caretaker (pengasuh) di usia muda dan terbiasa selalu memberi, bukan menerima.
Memahami Apa itu Delayed Trauma
Bagaimana Cara Mengatasinya?
Perasaan bersalah, berutang, dan harus membalas kebaikan adalah pola psikologis yang sangat umum ditemukan pada individu dengan riwayat trauma interpersonal atau pola asuh yang disfungsional. Intinya adalah kurangnya rasa aman dan keyakinan inti negatif tentang nilai diri sendiri, yang membuatmu sulit memercayai dan menerima kebaikan tanpa syarat.
Perasaan bersalah, berutang, dan tertekan untuk membalas kebaikan adalah indikasi adanya keyakinan inti negatif tentang dirimu (misalnya: "Kamu tidak layak," atau "Kebaikan selalu ada harganya"). Kamu bisa mengatasinya dengan melakukan hal-hal berikut;
1. Kenali dan Validasi Perasaan Kamu
Langkah pertama adalah memahami bahwa perasaan itu muncul bukan tanpa alasan, melainkan karena pengalaman masa lalumu (trauma, pola asuh, atau hubungan yang manipulatif).
- Identifikasi Pemicunya: Ketika seseorang berbuat baik, amati pikiran pertama yang muncul. Apakah itu: "Mereka pasti menginginkan sesuatu sebagai imbalan," atau "Kamu tidak pantas mendapatkan ini"? Tuliskan pikiran-pikiran tersebut.
- Akui dan Terima: Jangan menghakimi diri sendiri karena merasa bersalah atau cemas. Ucapkan pada diri sendiri, "Wajar jika kamu merasa cemas karena pengalaman masa lalu kamu. Tetapi saat ini, kamu aman, dan kebaikan ini mungkin tulus."
2. Tantang Keyakinan Inti Negatif Kamu
Keyakinan bahwa Kamu harus membalas adalah sebuah aturan yang dibuat oleh traumamu, bukan fakta universal.
Keyakinan yang Dibuat oleh Trauma | Tantangan Realitas (CBT) |
"Kamu harus membalas, kalau tidak, kamu berutang." | "Tidak semua orang memberi dengan pamrih. Memberi adalah cara mereka menunjukkan kasih kamung. Kamu bisa menerima ini sebagai hadiah tanpa harus ada 'kontrak'." |
"Kamu tidak layak menerima kebaikan cuma-cuma." | "Tidak ada yang menentukan kelayakan kamu selain diri kamu. Kamu adalah manusia yang berharga, sama seperti orang lain, dan berhak menerima kebaikan." |
"Jika kamu menerima, mereka akan menagih atau mengontrol kamu." | "Kamu adalah orang dewasa yang punya batasan. Kamu bisa menikmati kebaikan saat ini. Jika di masa depan mereka mencoba memanipulasi, kamu punya hak untuk mengatakan tidak." |
3. Ubah Cara Kamu Merespons
Alih-alih langsung membalas dengan materi atau jasa, fokuslah pada menerima dengan tulus dan mengekspresikan rasa syukur.
- Latih Penerimaan yang Tenang: Ketika seseorang menawarkan kebaikan, tarik napas dalam-dalam. Jawab dengan ungkapan yang tulus, seperti: "Terima kasih banyak. Ini sangat baik, aku menghargainya."
- Tunda Keinginan untuk Membalas: Jika dorongan untuk segera membalas muncul, tunggu selama 24 jam. Ini membantu memutus lingkaran respon trauma otomatis. Setelah 24 jam, Kamu mungkin menyadari bahwa membalas tidak sepenting yang Kamu pikirkan, atau cukup dengan mengucapkan terima kasih yang lebih dalam.
- Balas dengan Kehadiran, Bukan Materi: Cara terbaik membalas kebaikan dari orang yang tulus adalah dengan menjadi teman yang baik, pendengar yang baik, atau sekadar memberikan perhatian penuh (attentive presence) saat Kamu bersamanya. Ini adalah balasan yang sehat.
4. Mengembangkan Self-Compassion (Kasih Kamung pada Diri Sendiri)
Perlakukan diri Kamu seperti Kamu memperlakukan sahabatmu.
- Latihan "What Would I Say to a Friend?" : Bayangkan sahabatmu menceritakan perasaan bersalah karena menerima kebaikan. Apa yang akan Kamu katakan padanya? Kamu pasti akan meyakinkannya bahwa dia layak mendapatkannya. Gunakan kata-kata yang sama untuk dirimu sendiri.
- Ingatlah Bahwa Kebaikan Adalah Dua Arah: Dengan menerima kebaikan, Kamu sebenarnya memberi si pemberi hadiah kegembiraan. Dengan menerima, Kamu menghargai upaya dan ketulusan mereka. Kamu memberi mereka kesempatan untuk merasa murah hati.
3 Cara Mengatasi Panic Attack
Kapan Harus Mencari Bantuan Profesional?
Jika perasaan bersalah ini sangat intens, berlangsung lama, dan secara signifikan mengganggu hubungan, pekerjaan, atau kesejahteraan mental Kamu, sangat disarankan untuk mencari bantuan dari Psikolog atau Terapis.
- Terapi Perilaku Kognitif (CBT): Dapat membantu mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif yang memicu rasa bersalah.
- Terapi Berorientasi Trauma (misalnya EMDR atau Terapi Trauma Kompleks): Dapat membantu memproses akar trauma masa lalu yang menyebabkan keyakinan bahwa Kamu tidak layak menerima kebaikan.
Ingat, mengatasi pola pikir yang sudah mengakar membutuhkan waktu dan latihan. Bersabarlah dengan diri Kamu sendiri dalam proses ini. Semangat, Ya!
Lots of Love,
Resa—
.png)
11 Komentar
Aku sering banget ngalamin fase ini, rasanya kadang selalu salahin diri sendiri kalau gak bisa setara yng akhirnya gabisa bersyukur. Banyak2 minta maaf sama Allah :( Aku selalu ngerasa bersalah juga waktu nerima bantuan dari orang lain yng gapernah aku minta. Padahal kadang, menerima itu juga bentuk keikhlasan dan saling menghargai ya
BalasHapuskaak, sini peluuuk :)
HapusSaya juga kadang suka memiliki perasaan bersalah ini, terutama saat menyebabkan seseorang berada dalam situasi tidak nyaman dan menyenangkan. Seringnya malah memiliki rasa tidak enakan kepada orang lain. Rasa tidak enak yang malah terkadang jadi menyusahkan diri sendiri. Semuanya harus diatasi yaa kalau menurut saya, gak enak hidup begini selalu merasa bersalah dan sering tidak enakan sama orang.
BalasHapusFenomena ini banyak terjadi di masyarakat. Aku sendiri juga terkadang ada di fase kayak gini. Bahkan orang sekitar ku juga banyak yang berpikir seperti ini. Padahal apa salahnya kita menerima kebaikan sesekali? Padahal bisa jadi kebaikan yang kita terima tersebut buah dari kebaikan-kebaikan di masa lalu yang pernah kita lakukan.
BalasHapusIngatlah Bahwa Kebaikan Adalah Dua Arah: Dengan menerima kebaikan, Kamu sebenarnya memberi si pemberi hadiah kegembiraan. Dengan menerima, Kamu menghargai upaya dan ketulusan mereka.
BalasHapusAku suka bagian ini. Terima kasih kak sudah menulis tentang ini. Aku juga sedang mengupayakan diri aku agar ketika mendapatkan perlakuan baik dari orang cukup diterima dan tidak dijadikan beban untuk kembali melakukan feedback yang sama (kalaupun mau sesuai dengan kemampuan diri, jangan memaksakan diri karena merasa menjadi hutang budi).
Wahh, aku juga pernah merasa ada diposisi ini bahkan sampai saat ini. Jika ada kesalahan tuh bawaannya tuh menyalahkan diri. Tapi memang ketika kecil memang pernah ada pengalaman tidak menyenangkan juga sih terkait posisiku sebagai anak bungsu.
BalasHapusHanya saja semakin dewasa dan jadi orang tua, bisa jadi dulu orang tua pun berusaha sebaiknya. Dan akhirnya sadar tidak ada yang sempurna.. ❤️❤️
Aku dulu kadang merasa gitu. Dibaikin malam bingung, negatif thinking. Jangan-jangan minta balesan nih karena udah ngasih sesuatu. Sekarang udah lebih masa bodoh. Gak mau terlalu baik, atau jahat. Jadi yang secukupnya, yang biasa-biasa aja demi kewarasan
BalasHapusKadang memang muncul perasaan kayak gini ya kalau misalnya ada yang baik atau memberikan sesuatu pada kita. Kepikiran pastinya untuk membalas pemberian tersebut biar nggak merasa berhutang
BalasHapusOoh ternyata merasa bersalah saat menerima kebaikan itu bisa dikategorikan sebagai suatu masalah psikologis tersendiri ya.. Selama ini belum pernah dengar atau berinteraksi langsung sama sesorang yang sampai tahap butuh bantuan profesional karena alasan ini, tapi semakin banyak yang paham semakin baik juga.
BalasHapusBertahun-tahun lalu saya pernah mengalami ini. Melatih diri menghargai diri sendiri, bangun boundaries, memahami diri sendiri dan potensi diri.
BalasHapusAku jadi ngerasa ini "Aku banget" loo..
BalasHapusEntah kenapa, aku juga sulit menerima kebaikan orang yang terus menerus ia lakukan. Kayaak ada feeling guilt gituu loo.. Kadang, aku juga jadi ngerasa bersalah karena gak bisa membalas kebaikannya sama besarnya ((dalam hal nominal)).
Tulisannya sangat ngebantu aku banget untuk bisa memahami apa yang aku rasa and try to solved it.